Rabu, 31 Maret 2010

Dilema

Hatiku telah mati. Mati. Benar-benar mati. Raut cantik wanita itu yang membunuhnya. Padahal baru kemarin ku hidupkan kembali setelah sekian kali terbunuh, tertikam dan tersayat oleh wanita. Entah apa yang harus ku katakan pada orangtuaku nanti. Mereka benar-benar mengharapkan aku untuk segera menikah.
“Besok teman bapak mau kesini mengenalkan anaknya.” Ucap ibu semalam sewaktu aku tengah menghisap sebatang rokok sisa kemarin sore. Jika ia benar-benar datang, maka wanita itu adalah wanita kesembilan yang bapak kenalkan padaku setelah kemarin aku tidak bisa memberi jawaban setuju pada wanita pilihannya. Mereka tidak pernah tahu dan mungkin sebaiknya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku ini. Memang hanya tuhan yang aku yakini, tapi bukan berarti tak ada lagi wanita yang bisa membuatku yakin bahwa aku layak untuknya. Andai saja dia tidak pergi jauh meninggalkanku. Andai saja lelaki muda, tampan dan kaya raya itu tidak pernah terlahir kedunia. Andai saja dia tidak mati bunuh diri membaca selembar surat yang ku titipkan pada seekor merpati, mungkin aku tidak akan pernah seperti ini. Satu-satunya wanita yang aku pikir bisa menjadi teman hidupku dalam segala suasana telah pergi. Sebilah pisau telah memutuskan urat ditangannya membuatnya kehabisan darah dalam waktu sekejap. Dan ruhnya terbang mencium langit, menemuiNya. Aku menangis. Air mataku mengalir deras. Sangat deras bercampur darah. Inilah tangisan terbesarku pada mahlukNya.
“Ya Allah, Jika kelak Kau jatuhkan lagi diriku pada segumpal hati
Jatuhkanlah aku pada hati yang membawaku dalam teduh hatiMu.”

Sore hari dikota Yogya, 30 Maret ‘10