Namaku Ali, lengkapnya Ali Mahfud. Aku lahir pada tanggal 10 Mei seribu Sembilan ratus delapan puluh empat. Entah fenomena apa yang terjadi pada saat itu, orang tuaku bilang aku lahir saat gelap menjelang mahrib. Maka wajar adanya jika tubuhku terbalut oleh kulit yang serupa warna dengan suasana senja menuju malam. Gelap. Aku anak kelima dari enam bersaudara. Tiga kakakku wanita dan satu berkelamin sama sepertiku. Dia lah kakak tertuaku. Lalu siapa yang duduk dibangku nomer enam? Mustolih, bapak memberinya nama itu pada adikku satu-satunya. Dahulu, waktu aku masih belum mengerti betul untuk apa aku dilahirkan, aku pernah menangis. Sebuah tangis yang aku sendiri tak tahu artinya. Yang jelas pernah ku miliki seorang adik bernama Masduki. Dia adik yang tampan. Sungguh tampan. Untuk dialah tangisku persembahkan. Karena dialah aku terus menutup mata yang basah saat embahku memberi sebungkus plastik putih berisi permen.
“Wis, aja nangis bae ya.” Ucapnya pelan. Tapi aku terus menangis dan menangis. Pertemuan selalu diikuti dengan perpisahan. Tapi aku tak pernah bisa menerima hukum itu. Aku kehilangan dia, adikku yang tampan.
Masih ku ingat dengan jelas, bahkan hingga sekarang, saat Emak menggendonganya. Bertelanjang dada dia. Mulutnya tak pernah lepas dari air susu Emakku. Aku senang memutar kembali memori itu. Tapi aku sedih ketika tuhan memaksa untuk merelakannya.
Ada banyak jalan yang bisa membuat kita bahagia. Tapi hanya ada satu masa yang terus membuatku bahagia hingga kini. Masa kecil ku yang sederhana masih sedap untuk ku santap dalam memoriku. Kepergian Masduki memberi seikat berkah untukku. Ada yang selalu takut dengan kepergianku setelah kepergiannya. Ketakutan itu selalu muncul di wajah bapak dan emakku. Sering mereka mengungkapnya dengan membelikanku sebuah mainan terbuat dari besi yang dibeli dipasar loak.
“oleh-oleh dari Jakarta.” Ucap emakku.
Dahulu bapak memang sering pulang pergi ke Jakarta. Kadang tiga hari, kadang juga seminggu. Setiap kali ku tanya pada bapak, beliau selalu menjawab dengan jawaban sama. Arep golek duit katanya. Usiaku belum genap 5 tahun pada saat itu. Tapi pikiranku sudah mampu menjamah usia remajaku setiap kali jawaban itu muncul dari mulut bapak. Keadaan yang sulit membuatnya rela berpisah dengan keluarga untuk beberapa hari. Berbekal baju dua potong yang emak bungkus dengan Koran bekas, bapak dengan keyakinan tinggi berangkat ke Jakarta. Aku ingat apa yang bapak selalu kenakan setiap ke Jakarta. Kemeja putih yang lusuh dan berubah abu-abu karena sering dipakai, celana hitam dan peci hitam. Dengan senyum yang mengembang dari bibirnya, beliau selalu berkata padaku: “tak tukukna mobil-mobilan ya…” dan sejurus kemudian berlalu.
Bapak. Emak. Kalau saja kalian membaca tulisan ini suatu saat,,,,,,,,,
Senin, 16 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar