Selasa, 19 Januari 2010

Asmara “Plato” dan “Saussure”

Diceritakan bahwa Jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan ternyata punya cerita unik sewaktu melakukan penembakan pada Nawangwulan. Tiga hari tiga malam dia tidak bisa tidur memikirkan cara yang tepat untuk mengutarakan cintanya pada Nawangwulan. Dengan bunga mawar dan berlutut dihadapan Nawangwulan sudah sering dilakukan orang. Lewat surat sudah tidak jaman. Pakain SMS takut dibilang tidak gentle. Bisa dibilang selama waktu tiga hari tiga malam Jaka tarub tidak tidur sedetikpun memikirkan cara tepat mengutarakan cintanya pada Nawangwulan. Maklum saja, Nawangwulan bukan wanita biasa. Dia adalah bidadari yang turun dari kayangan. Kalau bicara bidadari tentu kita semua sepakat betapa cantiknya wajah Nawangwulan. Bodinya semlohai. Sorot matanya memancarkan aura kasih (tapi bukan promosi artis lho…). Dan bibirnya…. Susah untuk didefinisikan. Siapapun tidak ingin melewatkan kesempatan langka untuk bisa melihatnya walau sekejap. Mencium aroma wanginya yang masih tertinggal berkilo-kilo meter saja orang berani adu jotos.
Jaka Tarub memang belum pernah mengutarakan cinta pada wanita manapun. Jam terbang dia didunia percintaan masih sangat minim. Walau begitu, mengutarakan cinta pada wanita sudah lama ia pelajari. Terutama dari sinteron TV Indonesia yang tidak mendidik. Teori memang tidak selamanya seiring sejalan dengan aplikasi. Begitulah yang sedang dialami Jaka Tarub. Sempat ia berpikir untuk menggunakan puisi seperti yang dilakukan Rangga pada Cinta. Tapi niat itu urung dilakukan lantaran ia tidak bisa membuat puisi. Oh, beginilah cinta. Deritanya tiada ahir. Gumam jaka tarub dalam hati. Untuk memulai saja sulit apa lagi menjalankannya.
Seorang teman sempat memberi solusi untuk menggunakan jasa face book. Tapi ia tolak mentah-mentah. Meskipun sekarang sudah modern. Segala hal bisa dilakukan dengan teknologi. Tapi bagi Jaka Tarub cara seperti itu tidak bisa menunjukan jiwa jantannya pada Nawangwulan.
Hari penentuan telah tiba. Jaka Tarub sudah berada didekat Nawangwulan. Duduk berdua sambil minum kopi Joss disebuah tempat yang disepakati. Rasa pahit kopi Joss mengalir pelan ditenggorokan. Jaka tarub memulai obrolan segera. Masih merasa pahit.


Maksud saya mengundang kamu kesini adalah….

Langsung saja tho mas, jangan basa basi! Nawangwulan memotong kalimat jaka Tarub. Sampean itu terlalu banyak basi basi. Traditional banget tho mas!

Bukan begitu Dik Nawang….

Bukan begitu gimana! Sekarang sudah bukan lagi jaman Plato dan Arestoteles Mas...

Saya juga tahu Dik. Saussure merubah segalanya. Tapi bukan berarti kita tidak lagi diperbolehkan menggunakan akidah-kaidah yang benar…
Lihat fakta yang ada aja Mas. Kalau sampean masih berpola dan berkaidah yang ada nanti ada judgment salah dan benar.

Memang begitu adanya kan Dik?

Ini jaman modern Mas. Sudah saatnya kita tidak lagi berkiblat pada pola atau kaidah. Kita lihat yang umum aja Mas. Jadikan kaidah yang umum itu sebagai standar.

Lalu apa gunanya aturan Dik?

Aturan tetap ada dan dipakai Mas. Tapi bukan begitu caranya.

Begitu gimana tho Dik Nawang?

Sudahlah jangan berdebat! Sampean dan saya memang berbeda. Sampean masih berpegang pada Plato dan muridnya itu. Bukan saya menjelekkan Plato lho Mas, tapi Saussure sudah mengawali semua. Dia sudah merubah semua sesuai dengan kenyataan dunia yang ada.

Maksudmu aku masih traditional dan kamu modern?

Sebenarnya sampean ngajak saya kesini buat apa tho Mas?!! Sudah ngajak ketempat kayak gini ga berkelas, berbelit-belit lagi. Katanya mau mengutarakan cinta? Kalau begitu mbok cari tempat yang agak romantis dikit. Setidaknya di Mall atau Restoran Fast Food biar gaya dan gaul dikit!

Bukannya kamu bilang saya traditional? Ya inilah tempat saya. Tempat yang menggambarkan jiwa saya.

Iya, saya tahu. Sampean masih senang dan menghargai unsur budaya. Tapi dunia sudah berubah Mas. Kalau Plato dan temen-temenya yang sampean jadikan pegangan, sampean bakal tertinggal terus.

Dunia memang sudah modern Dik Nawang. Cara berpikir deduktif sudah tidak layak dipakai lagi. Tapi saya lebih suka seperti itu.

Kalau sampean lebih suka yang seperti itu kenapa sampean bisa suka sama saya yang bermadzhab Saussure?

Kamu sendiri suka ga dengan aku Dik?

Tergantung…..

Tergantung apa???

Tergantung sampean mau ga buat berubah.

Berubah gimana Dik?

Ya berubah. Mengikuti perkembangan jaman.

Maksudmu saya beralih kiblat pada Saussure dan teman-temannya itu?

Traditional sudah tidak layak pake Mas…

Kalau saya tetap bertahan dengan Traditional gimana? Kamu tetep mau?

Ya tergantung juga….

Tergantung gimana?

Sampean beneran suka ga sama aku?

Lho, kok kamu jadi ikut-ikutan traditional tho Dik?

Siapa bilang saya traditional?

Sikap berbelit kamu dan tidak to the point yang bilang….

Memangnya modern tidak boleh berbelit?

Itukan punya madzhabku…

Sudah! Sudah! Sudah! Sekarang langsung aja Mas. Sampean cinta ga sama aku?

Kok jadi kamu yang bilang cinta duluan Dik?

………….

Kok ga dijawab Dik Nawang?

…………

Dik?

……….

Kamu malu ya Dik?

…….

Dik?

……

(Aliran dan Teori Linguistik, Soeparno, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar