Selasa, 19 Januari 2010

"Chomsky" yang manja

Jaka Tarub dan Nawangwulan akhirnya memutuskan untuk menikah meskipun pada awalnya hubungan mereka tidak begitu harmonis. Dari awal berhubungan hingga menjelang menikah mereka berdua masih saja meributkan antara traditional dengan modern, antara Plato dan Saussure. Bahkan sempat acara foto pre wedding gagal gara-gara mereka bangun kesiangan karena semalam suntuk rebut masalah traditional dan modern.
Kini saat yang dinanti seluruh umat didunia dan dikayangan telah tiba. Pernikahan dua mahluk dari dunia berbeda dan madzhab yang berbeda segera diangsungkan. Kabarnya biaya pernikahan mereka jauh melampaui biaya yang dikeluarkan Abu Rizal Bakri sewaktu menikahkan anaknya. Bahkan dana talangan bail Out Century yang mencapai 6.7 triliun masih kalah jauh dengan biaya pernikahan yang mereka keluarkan. Bagaimana tidak, untuk menyebar undangan pada seluruh rakyat Majapahit saja menghabiskan dana kurang lebih satu milyar. Entah undangan jenis apa yang mereka gunakan. Namun berdasarkan kabar yang saya peroleh dari sumber yang tidak mau disebutkan namanya, setiap orang yang diundang mendat satu unit sepeda motor model terbaru mesin 175,5 CC. Selain itu, beberapa ajudan Jaka Tarub juga ditugaskan untuk menyebar undangan melalui Facebook yang penggemarnya tercatat hampir mencapai 500 juta orang. Itu belum termasuk penggemar dari Negara China yang doyan nge-hacker google. Benar-benar pernikahan termegah dan terbanyak mengabiskan dana sepanjang masa.
Dewi Nawangwulan sendiri tidak mau kalah. Tetangga-tetangganya yang berada di kayangan juga diundang. Yang dilakukan Nawangwulan lebih gila lagi. Ia rela memasang satelit luar kayangan untuk bisa menyebarkan informasi pernikahanya lewat internet. Seluruh situs yang ada sudah dibooking selama 3 bulan 3 setengan hari husus untuk mengiklankan berita pernikahannya. Bisa anda bayangkan untuk hal semacam ini saja Nawangwulan dan Jaka Tarub masih bersaing. Tapi begitulah cinta, selalu ada saja tingkah anehnya.
Tahun sudah berganti berkali-kali. Musim gugur, musim dingin dan musim duren sudah sering mereka lewati semenjak hari pernikahan. Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dianugerahi seorang putri bernama Dewi Nawangsih. Sebenarnya nama yang diberikan hanya “Nawangsih” tanpa “Dewi”. Namun adat jawa memang senang mengagungkan seseorang dengan sebutan tertentu. Seperti tambahan kata “Dewi” pada nama ibunda Isa Alaihissalam. Sekedar pemberitahuan saja, selain kata “Dewi”, orang jawa juga terbiasa dengan sebutan “Siti” untuk nama perempuan. Sebagaimana sering kita dengar pada penyebutan nama ibunda Rosul Muhammad SAW, Siti Aminah. Padahal nama aslinya hanyalah Aminah, tanpa kata “Siti”. Maka sah-sah saja jika kita menyebutnya dengan sebutan lain misalnya, Tante Maryam, Tante Aminah dan tante tante yang lain.
Seiring berjalannya waktu Nawangsih tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik parasnya, mancung hidungnya, dan putih mulus kulitnya. Jika bicara bibir bagian bawah seakan mau jatuh, melambai-lambai. Dagunya yang bergelantungan makin membuatnya menarik. Tapi sayang, keindahan tubuh itu tidak dibarengi dengan perangainya. Sifat Nawangsih liar, nakal, dan manja. Segala sesuatu yang ia minta harus dikabulkan. On time. Bahkan sering sekali in time artinya permintaan itu harus dikabulkan sebelum diucapkan.
Sifat manja Nawangsih memang sudah terlihat semenjak lahir. Bayangkan saja ketika bayi lain menangis kencang sewaktu lahir, Nawangsih justru hanya diam saja. Semua orang yang ada disana, dukun bayi, Jaka Tarub dan Nawangwulan sendiri hawatir bercampur sedih, takut, dan sedikit bertanya-tanya ada apa dengan putrinya itu. Setelah diamati ternyata dia sedang asyik up date status facebook lewat HPnya. Rupanya Nawangsih sudah memesan Blackberry sewaktu masih dalam kandungan. Dan masih banyak lagi cerita unik namun sulit dipercaya bagi siapapun termasuk saya, yang dengan segala kerendahan hati tidak bisa saya paparkan disini.
Secara fisik Nawangsih memang lebih mirip ibunya, Nawnagwulan, dibanding bapaknya Jaka Tarub. Namun sikap Nawangsih ternyata banyak bertentangan dengan Nawangwulan terutama dengan ide-idenya yang dianggapnya tidak tepat. Dalam setiap diskusi keduanya, Nawngwulan dan Nawangsih, sering berbeda pendapat satu sama lain. Sebagai contoh, ketika Nawangwulan berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah kebiasaan. Nawangsih langsung menolak mentah-mentah. Dia bahkan menantang ibunya untuk melatih bicara hewan-hewan piaraannya seperti kambing, orang utan, kuda, dan slamet (Upss!! yang terahir adalah penggembalanya). Dia menantang Nawangwulan untuk memberikan drill and practice pada hewan-hewan yang saya sebut diatas (kecuali Slamet). Dan ternyata semua hewan piaran itu tidak ada satupun yang bisa berbicara sebagaimana manusia. Bagi Nawangsih, bahasa bukan sekedar kebiasaan, rangsang tanggap semata akan tetapi jsutru sebagai proses kejiwaan. Proses berbahasa bukan sekedar proses fisik yang berupa bunyi sebagai hasil sumber getar yang diterima oleh alat auditoris, akan tetapi berupa proses kejiwaan didalam diri manusia.
Begitulah seterusnya. Hari-hari Nawangsih dipenuhi dengan perdebatan dengan ibunya. Dan jika demikian, sang ayah Jaka tarub hanya diam. Sesekali ia berkata mencoba menjadi bijak.
Kalian berdua mbok ga usah ribut terus tho? Wong pada dasarnya adanya kalian karena ada aku kok, coba kalau ga ada aku. Apa mungkin kalian ada?
Bersambung………………
(Aliran dan teori linguistik, Soeparno, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar