Selasa, 19 Januari 2010

“Perdebatan "Chomsky" VS "Saussure”

Diceritakan sebelumnya, Nawangwulan sering sekali beradu argumen dengan putrid satu-satunya yakni Nawangsih. Dan setiap kali berdebat Jaka Tarub hanya diam dan sesekali bersikap bijak untuk menunjukan posisi dirinya sebagai kepala rumah tangga.
Mbok kalian ga usah rebut terus tho? Wong pada dasarnya adanya kalian karena ada aku kok. Coba kalau ga ada aku? Apa kalian ada?
Kalimat itulah yang selalu Jaka Tarub ucapakan setiap kali istri dan putrinya berdebat. Dan biasanya, sang putri akan menjawab demikian:
Kata siapa Romo? Aku ini kan lahir karena takdir??
Jaka Tarub menjawab:
Apakah Hawa lahir untuk menemani Adam juga merupakan takdir?
Itu kan lain Romo?
Sama aja ndok,
Beda Romo?
Beda di sisi mana? Romomu guanteng, ibumu juga cuantik.
Bukan masalah itu Romo?
Lalu soal apa?
Aku lahir karena ada ibu. Coba kalau ga ada ibu? Apa mungkin Romo bisa melahirkan aku?
Memang ibu yang melahirkan kamu. Tapi ibu ada juga karena Romo ada. Ibumu ga akan lahir kalau Romo ga ada. Adanya modern karena lahir traditional lebih dulu.
Begitu seterusnya sampai mereka benar-benar lelah untuk beradu argument lagi. Atau rasa kantuk sudah menggerayangi matanya. Suatu ketika Nawangwulan menantang putrinya Nawangsih melanjutkan perdebatannya mengenai bahasa. Jika sang ibu berpendapat bahwa proses berbahasa merupakan factor kebiasaan Nawangsih berpendapat bahwa proses berbahasa bukan semata factor kebiasaan namun lebih dari itu. Proses berbahasa menurut Nawangsih justru proses kejiwaan yang menonjol. Dan perdebatan itu berlanjut demikian….
Saya tidak bisa terima pendapat ibu? Ungkap Nawangsih penuh emosi.
Apa yang membuatmu tidak sependapat dengan ibu?
Bentuk grammatical bukan hanya itu. Jangan hanya bersandar pada factor keumuman ibu?
Lalu kita harus bersandar pada apa?
Bagiku masalah umum atau tidak umum bukan menjadi persoalan. Yang penting adalah kaidah. Walaupun suatu bahasa tidak umum namun jika secara kaidah bahasa itu betul maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui bentuk bahasa tersebut. Selama kita mengikuti kaidah yang ada, meskipun itu tidak umum dipakai maka hal itu masih dianggap wajar.
Mana buktinya?
Oke, saya akan berikan bukti itu. Tapi sebelumnya jawab dulu pertanyaan saya.
Silahkan. Mau Tanya apa?
Apa makna kata “menggunung”?
Menyerupai gunung…
Bagaimana dengan kata “menganak sungai”?
Artinya menyerupai anak sungai.
Jika demikian maka bisakan saya membuat ungkapan “membibir” untuk menyebutkan menyerupai bibir?
Bagaimana mungkin?
Mungkin saja. Karena kaidah yang saya gunakan sama dengan kaidah dua contoh kata diatas yakni “menggunung” dan “menganak sungai”
Tapi itu tidak lazim digunakan?
Iya saya tahu. Tapi kaidah itu adakan?
Memang..
Kalau demikian sah-sah saja kan saya berkata demikian?
Atas dasar apa?
Kaidah yang ada….
Apakah itu lazim digunakan?
Memang tidak. Tapi hal itu tidak menyalahi aturan. Karena masih dalam kaidah yang diperbolehkan.
Kalau dasarnya kaidah, kenapa tidak ada orang yang mengungkapkan demikian untuk kata “membibir”?
Oh, itu bukan kewenangan saya. Saya hanya mencoba menerapkan kaidah yang ada.
Kamu memang sama saja seperti Romomu
Oh tidak. Romo traditional sedangkan aku tidak.
Bukankah hal semacam itu traditional? Mana buktinya kamu tidak traditional?
Aku lahir bukan dijaman Plato ibu?
Saya tahu betul itu.
Aku lahir dijaman sesudahmu ibu. Itu alasanya kenapa aku bukan traditional.
Oke. Kita tutup untuk hal ini. Terserah kamu traditional atau tidak ibu ga peduli.
Apa itu artinya bendera putih ibu mulai berkibar?
Ibu tidak semudah itu menyerah.
Kalau begitu mari kita lanjutkan.
Ini sudah larut.
Memangnya kenapa jika sudah larut?
Ibu ada janji dengan Romomu. Ada yang harus diselesaikan. Jangan Tanya soal apa itu. Kamu belum saatnya untuk menanyakan tentang hal itu….
bibliography
(Aliran dan Teori linguistik, SOeparno.2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar