Senin, 16 November 2009

Cerita 2

Sejak dilahirkan hingga masuk sekolah dasar aku tidak pernah mengenal listrik. Kampungku masih merasa nyaman dengan lampu petromas dan oncor (bamboo yang diberi kain dan minyak sebagai penerang). Pemerintah pada jaman itu juga tak mau mengenalkan listrik pada kampungku. Ustadku bilang karena kampung kami tidak satu idiologi. Beda warna bendera. Benda gambar dan sebagainya. Praktis aktivitas sehari-hari hanya mengandalkan lampu petromas dan oncor. Tiap sore sekitar jam lima, sudah jadi tugasku untuk ke warung dan membeli satu liter minyak tanah. Dirumah bapak sibuk menyiapkan lampu petromaknya. Setelah dipompa berkali-kali nampkak teranglah seisi rumahku.
Andai aku jadi presiden mungkin akan ku sematkan gelar pahlawan pada lampu petromak. Atau mungkin akan ku buatkan patung petromak terbesar di dunia untuk mengenang jasa-jasa baiknya. Karena dengan petromaklah segala aktivitas malam kami terbantu. Termasuk belajar. Jika menjelang ujian ahir catur wulan (sekarang semester) emak selalu membangunkanku jam 3 pagi untuk belajar. Tentu dengan bantuan petromak. Hingga adzan subuh terdengar aku baru selesai belajar persiapan ujian catur wulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar