Rabu, 18 November 2009

Sepenggal kisah Lani

Seisi kampung dibikin gentar pagi itu oleh suatu kejadian aneh. Seorang wanita yang ditemukan tergantung di sebuah pohon dekat gubuk pak Mahmud. Wanita yang tak asing bagi mereka. Wanita yang pendiam, perenung, dan taat beribadah.
Hidup memang sebuah kumpulan warna yang saling menghiasi satu dengan lainnya. Hitam, putih, hijau, kuning, dan merah. Meskipun mereka berbeda satu sama lain tapi justru perbedaan itulah yang membuat mereka nampak ada. Putih tak akan menjadi putih jika tak ada hitam. Begitupun yang lain. Seperti kehidupan tak akan disebut sempurna tanpa pernah melewati dan merasakan semuanya.
Lani, remaja belasan tahun yang baru saja menginjakkan kakinya disebuah perguruan tinggi swasta memang cantik. Pintar juga. Banyak yang bilang seperti itu. Termasuk aku. Namun ada yang kurang dalam dirinya. Sepanjang hidupnya, dari kecil hingga dewasa, dia tidak pernah merasakan maninsnya masa muda dengan berpacaran. Tak pernah ia mendapat sapaan sayang dari seorang lelaki seperti yang biasa ia dengar dari kekasih kawan-kawannya. Entah karena sebuah prinsip atau bukan tapi yang jelas aku sering mendengarnya kalau dia ingin punya pacar. Ingin sekali merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang kekasih bagi seorang kekasih. ingin tahu rasanya ciuman, pelukan, atau sekedar bergandengan tangan. Selama ini ia merasa hanya hitam dan putih hidup yang memeluknya. Ia ingin sekali mengerti hidup dan memahami arti hidup yang tidak hanya terdiri dari dua warna. Hitam dan putih.
“Namaku Agus.” Seorang pria mengawali perkenalan sewaktu Lani sedang menunggu bus kampus. Lani menjabat tangannya dengan lembut dan memperkenalkan diri. Perbincangan pun berlangsung. Sepanjang perjalanan di dalam bus tak henti-hentinya mereka ngobrol. mulai dari topik perkuliahan sampai pada masalah politik yang tak pernah usai untuk diperbincangkan. Maklum Agus adalah anak hukum. Maksudnya mahasiswa yang ambil fakultas hukum. Tak heran jika ia senang berbicara tentang politik. Lain halnya dengan Lani yang ambil jurusan ekonomi. Jurusan yang banyak menghasilkan duit. Tentunya bagi kampus yang membuka jurusan itu bukan mahasiswanya. Dari dulu mahasiswa yang kuliah di jurusan ekonomi banyak yang nganggur. Padahal untuk bisa menyelesaikannya butuh biaya yang tidak sedikit. Untuk uang gedung saja bisa berjuta-juta. Belum uang kos dan biaya makan yang jika di kalkulasi dari awal kuliah sampai wisuda bisa buat beli es dawet untuk orang sekampung.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama untuk saling mengerti satu dengan yang lain. Tapi Lani menjawab setuju ketika Agus meminta untuk menjadi pacarnya. Mungkin karena Lani memang sudah lama mendambakan seorang kasih. Atau justru agus yang pandai merayu wanita. Atau mungkin kedua-duanya aku tak tahu. Yang jelas mereka berdua sering jalan bareng. Tiap malam minggu jam enam sore Agus sudah rapi menunggu Lani di teras depan. Entah apa yang mereka lakukan diluar sana jam dua belas malam biasanya Lani baru pulang. Setelah sedikit gombal dan ciuman mesra Agus langsung menarik kencang motornya pulang takut kalau-kalau nanti kepergok warga yang sedang ronda. Aku hanya diam melihat dari balik korden kamar sambil menikmati malam minggu yang sunyi.
Pacaran memang mengasyikkan. Setidaknya itu yang aku dengar dari sebuah lagu. Dan sepertinya tidak salah. Aku melihat banyak perbedaan dalm diri Lani. Ia tak lagi suka melamun, merenung, berdiam diri dalam kamar. Ia tak lagi terlihat mengenakan kerudungnya untuk mengikuti pengajian rutin malam minggu. Ia pun tak lagi menghabiskan malam-malam panjang bersamaku untuk sekedar berbincang dan mengomentari sepasang kekasih yang lalu lalang didepan rumah.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama untuk saling mengenal satu sama lain. Tapi Lani menjawab setuju ketika Agus mengajaknya menikah muda. Mungkin karena Lani sudah cinta mati sehingga bisa meyakinkan suara hatinya bahwa Agus adalah pilihan yang tepat. Mungkin juga karena Agus sudah ngebet sekali untuk bisa merasakan bagaimana nikmatnya tidur dengan lawan jenis. Tapi yang jelas Lani pernah bilang bahwa dirinya sudah pernah membuka bajunya didepan Agus. Dipematang sawah. Diantara bunyi jangkrik yang saling bersautan. Diatas gubug pak Mansur. Aku kaget mendengar penuturan Lani yang polos. Semudah itukah ia membuka baju didepan orang yang belum tentu menjadi suaminya?
Aku hanya diam dan bertingkah seolah tidak mengerti apa yang ia maksud. Aku juga diam ketika melihat tubuh Agus tenggelam diatas gubuk bersama Lani.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama untuk bisa melupakan bayang-bayang Agus yang sudah terpatri didalam otak Lani. Agus yang dulu sering datang malam minggu kerumah Lani sekedar mengajak jalan-jalan. Agus yang dulu mengajaknya kawin muda. Agus yang dulu tenggelam di atas gubug pak Mansur bersamanya kini pergi meninggalkan Lani bersama wanita lain.
“Aku dijodohkan.” Ucap Agus ringan. Lani tidak menjawab atau berkomentar. Hanya deraian air mata dari kedua matanya yang sayu dan isak tangis yang terdengar. Lani tidak menyangka bahwa kisah cintanya bersama Agus akan berahir seperti ini setalah semuanya ia korbankan, termasuk keperawanannya.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama. Dan Lani masih tak bisa melupakan Agus. Sulit memang melupakan sesuatu yang sulit dilupakan. Sulit memang untuk bisa menghilangkan suatu kenangan. Baik atau buruk akan tetap terkenang. Selamanya.
Dua minggu bukanlah waktu yang lama. Tapi lani kini sudah berubah. Renungan itu. Lamunan itu. Dan kesendirian dalam kamar kini kembali wemarnai hari-hari Lani yang tak lagi berwarna. Karena Agus warna itu kini hilang. Putih tampak putih. Meski hitam tiada.
Hari-hari yang hilang kini kembali. Tapi Lani yang hilang tergantung di pematang sawah, tempat dimana keperawanannya hilang tak akan pernah kembali. Lani telah membuktikan bahwa didunia ini masih ada orang yang benar-benar cinta mati. Cinta sampai mati. Disamping mayatnya yang tergantung dengan kain berwarna warni secarik kertas usang tergeletak. Tertulis sebait kalimat.
“Apapun adanya dirimu. Dimanamun kini dirimu. Aku akan tetap mencintaimu. Karena cintaku tak akan mati. Meski tubuh membawa pergi.”

Malam yang hening, 9 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar